Theo van Doesburg
April 1923
SENI yang mengacu pada kelas orang-orang tertentu (itu) tidak ada, dan jika pun ada, itu tidak penting bagi kehidupan.
Kepada mereka yang ingin menciptakan seni proletar, kami bertanya: “Apa itu seni proletar?” Apakah itu seni yang dibuat oleh kaum proletar sendiri? Atau seni yang hanya melayani proletariat? Atau seni untuk membangkitkan naluri proletar (revolusioner)? Seni yang dibuat oleh kaum proletar tidak akan ada, sebab ketika kaum proletar menciptakan seni ia bukan lagi seorang proletar, tapi seorang seniman. Seniman bukan proletar atau borjuis, dan apa yang diciptakannya itu bukan milik proletariat atau borjuasi, melainkan milik semua. Seni adalah fungsi intelektual manusia yang bertujuan membebaskan manusia dari kekacauan hidup (tragedi). Seni bebas dalam menggunakan sarananya, namun terikat pada hukumnya sendiri, dan hanya pada hukumnya sendiri, dan segera setelah karya tersebut menjadi sebuah karya seni, ia jauh lebih unggul daripada perbedaan kelas proletariat dan borjuasi. Namun, jika seni harus melayani secara eksklusif proletariat, terlepas dari fakta bahwa proletariat tertarik pada selera seni borjuis, seni ini akan dibatasi, dan khususnya dibatasi oleh seni borjuis. Seni semacam itu tidak akan universal, tidak akan tumbuh dari rasa ke-bangsaan global [Weltnationalitätsgefühl], melainkan dari pandangan individu, sosial, spasial, dan temporal yang terbatas. Maka, jika seni cenderung membangkitkan naluri proletar, hal itu pada dasarnya tetap menggunakan sarana yang sama dengan seni gerejawi atau nasionalis. Sebanal sebagaimana kedengarannya sendiri, pada dasarnya sama saja apakah seseorang melukis Tentara Merah dengan Trostky di depan atau Tentara Kekaisaran dengan Napoleon di depan. Sebab nilai gambar sebagai sebuah karya seni, tidak relevan dengan bangkitnya naluri proletar atau perasaan patriotik. Satu hal, sama seperti hal lainnya, dari sudut pandang seni, itu adalah penipuan.
Seni seharusnya hanya membangkitkan kekuatan kreatif dalam diri manusia dengan sumber dayanya sendiri, tujuannya adalah manusia yang dewasa, bukan proletar atau warga negara. Hanya bakat-bakat kecil yang dapat membuat sesuatu jadi seni proletar (itu adalah politik yang dilukiskan negara) karena kurangnya budaya, sebab mereka tidak mengabaikan kebesaran. Seniman, bagaimanapun, meninggalkan bidang khusus dari organisasi sosial.
Seni seperti apa yang kita inginkan bukanlah proletar atau borjuis, karena ia mengembangkan kekuatan yang cukup kuat untuk memengaruhi seluruh budaya, daripada dipengaruhi oleh kondisi sosial.
Proletariat adalah kondisi yang harus diatasi, borjuasi adalah kondisi yang (juga) harus diatasi. Tetapi saat kaum proletar meniru (kultur) Borjuis dengan (kultur) Proletar mereka, justru merekalah yang mendukung peradaban borjuasi yang korup ini, tanpa sadar; kerusakan akan seni dan kehilangan akan budaya.
Melalui cinta mereka yang konservatif terhadap bentuk ekspresi lama yang terangkat dan kebenciannya yang tidak dapat dipahami terhadap seni baru, mereka tetap menghidupkan apa yang ingin mereka lawan sesuai dengan program mereka: budaya borjuis. Demikianlah sentimentalisme borjuis dan romantisisme borjuis, terlepas dari segala upaya keras para seniman radikal untuk menghancurkannya, itu masih bertahan dan dipupuk. Komunisme adalah masalah borjuis seperti halnya sosialisme, yaitu kapitalisme dalam bentuk yang baru. Borjuasi memanfaatkan aparatus komunisme—sebuah penemuan borjuasi, bukan proletariat—hanya sebagai jalan untuk pembaruan terhadap kebudayaannya sendiri yang membusuk (Rusia). Alhasil, seniman proletar tidak berjuang untuk seni, tidak juga untuk kehidupan baru di masa depan, melainkan untuk borjuasi. Setiap karya seni proletar tak lain hanyalah poster bagi borjuasi.
Sebaliknya, yang sedang kita persiapkan adalah karya seni total [Gesamtkunstwerk], yang diangkat semua poster, baik itu dibuat untuk kampanye, Dada, atau kediktatoran Komunis.
Catatan:
“Manifest Proletkunst” (Manifesto Seni Proletar), sebuah teks yang ditulis oleh seniman Belanda Theo van Doesburg, diterbitkan dalam majalah Kurt Schwitters Merz #2 pada April 1923 (Hannover, hal.24–25), yang ditandatangani oleh seniman-seniman avant-garde internasional terkemuka (Schwitters, Hans Arp, Tristan Tzara, dan Christof Spengemann).
Diambil dari Estetika Anarkis: Stirner, Seni, dan Anarki (Talas Press, 2022).